Wellnessantara, Jakarta – Ada upacara yang kita hadiri karena undangan, dan ada upacara yang kita hadiri karena hati. Pagi itu, di Istana Negara, saya hadir karena keduanya.
Di tangan saya ada secarik undangan resmi, di dada saya ada sesuatu yang sulit diurai: rasa ingin menyaksikan sendiri bagaimana negeri ini merayakan delapan puluh tahun kemerdekaannya.

Saya datang bersama dua sahabat saya. Syahrul Beddu, Direktur Perencana Program CSR Provinsi Sulawesi Tenggara. Ia tipe orang yang selalu mengedepankan etika dan tujuan. Pengalaman panjangnya menjahit kebijakan yang merangkul angka anggaran bukanlah tujuan, melainkan alat menyembuhkan luka sosial yang tak selalu terlihat. Sebagai pemimpin pemuda Sultra di masanya, ia tahu persis bagaimana pemuda mesti mengisi kemerdekaan dengan karya nyata.

Foto: Istimewa
Satunya lagi, Barkah Pattimahu, Direktur Lembaga Survei Sinergi Data Indonesia. Ia hidup di dua ruang: ruang data yang dingin dan ruang rakyat yang hangat. Pekerjaannya menuntutnya menghitung suara, tren, dan perilaku publik, tetapi ia tidak pernah lupa melihat manusia di balik semua angka itu.
Bendera pun naik perlahan. Tali tipis menanggung beban delapan puluh tahun kemerdekaan. Dalam detik itu, saya teringat masa ketika Merah Putih di telinga saya nyaris kehilangan gema.
Saya lahir di desa. Di sana, Merah Putih sering hanya menjadi hiasan bulan Agustus, lalu dilipat ketika bulan berganti. Bekerja di lingkar industri tambang membuat saya sadar: Merah Putih bukan sekadar kain di tiang. Ia ada di cara kita menjaga tanah dan hasilnya dari dijual murah kepada yang tak mengerti denyut tanah ini. Pernah saya ragu, apakah kata itu masih hidup, atau hanya slogan di pengeras suara.
Keraguan itu mulai pudar ketika saya kembali melihat dua sosok yang menghidupkan makna itu dengan cara mereka sendiri.
Yang pertama, Presiden Prabowo Subianto. Kekaguman saya bukan saja pada retorikanya, tetapi pada konsistensinya. Di matanya, kedaulatan bangsa tidak untuk dinegosiasikan. Ada ketegasan masa lalu yang ia bawa, seolah mengingatkan bahwa negara ini lahir dari keberanian berkata tidak pada tekanan yang hendak mengerdilkan kita.
Prabowo, seorang yang saya kagumi sejak lama. Bukan karena narasinya saja, melainkan keberaniannya mengucapkan kebenaran meski terdengar pahit:
“Kalau rakyat kita tak bisa dan tidak sadar menjaga kekayaaan sendiri, kalau pemimpin-pemimpinnya diam dan mengizinkan kekayaan rakyatnya diambil, itu salah kita sendiri dan kita akan malu pada sejarah sendiri.”
Kalimat itu, bagi saya, bukan sekadar kritik, tetapi sebuah cermin. Cermin yang memaksa kita menatap wajah kita apa adanya: apakah kita penjaga, atau justru pengkhianat tanah yang kita cintai? Pagi itu, saya menyaksikan langsung betapa sumringahnya beliau melihat rakyatnya berpesta.
Yang kedua, Atto Sakmiwata, Chairman Smelter Merah Putih Ceria Corp. Seorang pengusaha yang memilih membangun smelter dengan dana dari negeri sendiri. Di atas kertas, ini adalah keputusan bisnis. Namun di hati, itu adalah keputusan nasionalis.
Keberanian menolak bergantung pada modal asing demi mengolah kekayaan kita sendiri adalah sikap yang tidak semua berani ambil. Atto berhasil menanamkan ide di kepala kita bahwa kedaulatan bisa diwujudkan. Bahwa modal terbesar bukanlah uang, tetapi keyakinan bahwa anak bangsa juga mampu.
Bagi saya, Smelter Merah Putih bukan sekadar pabrik pengolahan nikel. Ia adalah tekad bahwa kedaulatan ekonomi bukan hanya kata indah di pidato, melainkan kenyataan yang bisa dinikmati. Harapan kami sederhana namun tegas: pemerintah mesti menyalakan political will yang kuat agar Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tumbuh kokoh di tanah sendiri.
Kini dunia bergerak menuju energi bersih. Pasar kendaraan listrik adalah arus besar yang tak bisa dihindari. Di dalamnya, nikel Indonesia berdiri sebagai salah satu tiang utama. Hilirisasi yang lancar akan memberi nilai tambah bagi negara, membuka lapangan kerja, dan meninggikan martabat kita di mata dunia. Industri tidak hanya tentang untung rugi, tetapi juga tentang keselamatan dan martabat pekerja kita, karena mereka adalah bagian dari Merah Putih itu sendiri.

Foto: Istimewa
Hari itu, selepas upacara, halaman istana menjadi ruang egaliter. Presiden menggelar Pesta Rakyat; makanan dibagikan, peserta upacara berdendang ria lagu Tabola Bale. Saya melihat pemandangan langka: penguasa dan rakyat berbaur tanpa sekat. Seolah negara sedang berkata, “Kita ini satu keluarga.”
Malamnya, karnaval kemerdekaan menyalakan cahaya dari Monas hingga bundaran HI. Kendaraan hias melaju seperti arak-arakan doa dari seluruh penjuru negeri. Di balik gemerlapnya, saya membaca pesan: kemerdekaan sejatinya bukan pesta setahun sekali, melainkan kerja sunyi yang dilakukan setiap hari.
Pulang malam itu, dada saya penuh. Merah Putih bukan hanya di tiang, bukan hanya di logo, bukan hanya di lirik lagu kebangsaan. Ia ada di cara Syahrul menjangkau yang kecil lewat program CSR. Ia ada di cara Barkah membaca data dengan empati. Ia ada di cara Prabowo berbicara tentang kedaulatan tanpa ragu. Ia ada di cara Atto membangun smelter yang benar-benar milik bangsa.
Merah Putih di tiang itu telah diturunkan pada sore harinya. Tetapi Merah Putih di dada kami (dan di dada banyak orang) akan terus berkibar. Kami bertiga memang kadang berbeda jalan, kadang seirama langkah, namun selalu bertemu di simpang yang sama: kecintaan pada tanah ini.
Begitulah. Kearifan lokal khas Prabowo dalam HUT ke-80 RI kali ini terlihat sangat mencolok. Menekankan semangat kolaboratif, aksi nyata, dan visi progresif. Beliau tidak hanya meluncurkan simbol-simbol negara, tetapi juga menanamkan semangat bahwa kemerdekaan adalah milik bersama dan harus dijaga dengan kontribusi seluruh elemen bangsa.
Dan dalam obrolan kami selanjutnya, kami sadar: politik, industri, dan masa depan anak desa memang sering diatur jauh dari meja mereka. Dan Smelter Merah Putih Ceria Corp. cukuplah menjadi bukti, bahwa di bawah nakhoda Presiden Prabowo, hilirisasi nikel, kedaulatan ekonomi, dan masa depan anak negeri bisa bertemu dalam satu titik. Smelter Merah Putih Ceria Corp., tak lain adalah kado anak-anak bangsa untuk Hari Ulang Tahun Ibu Pertiwi ke-80.
Terima kasih, Bapak Presiden Merah Putih, Prabowo Subianto.
Terima kasih, Bapak Smelter Merah Putih, Atto Sakmiwata.
Jakarta, 17 Agustus 2025
Ihwan Kadir, Pemerhati Sosial Lingkar Tambang, Sulawesi Tenggara