Wellnessantara. Yogyakarta – Di tengah riuh rendah klakson kendaraan bermotor dan kilau lampu kota modern, masih ada denting lonceng kuda yang terdengar lembut di sudut-sudut Malioboro. Itu adalah suara khas andong, kendaraan tradisional yang hingga kini tetap bertahan sebagai salah satu prasarana transportasi khas Yogyakarta. Tidak sekadar alat angkut, andong adalah ruang wellness, sebuah pengalaman perjalanan yang mengembalikan manusia pada harmoni, kesederhanaan, dan rasa syukur.
Andong, dengan roda kayunya yang berderak pelan di atas jalanan beraspal, mengingatkan kita pada filosofi Jawa tentang alon-alon waton kelakon. Hidup tidak harus tergesa-gesa, karena setiap langkah yang penuh kesadaran akan membawa kita pada tujuan. Berbeda dengan mobil atau motor yang mengejar kecepatan, andong justru menawarkan ritme yang tenang, seirama dengan degup hati dan tarikan napas kita.

Keistimewaan andong bukan hanya pada bentuknya yang klasik, tetapi juga pada suasana budaya yang melekat di dalamnya. Para kusir andong biasanya mengenakan pakaian adat Jawa—blangkon, surjan, dan jarik—sebuah simbol penghormatan pada tradisi. Bagi wisatawan, pemandangan ini bukan sekadar atraksi, melainkan ajakan untuk merenung: betapa pentingnya menjaga akar budaya di tengah derasnya arus modernitas.
Perjalanan dengan andong ibarat meditasi berjalan. Kuda yang melangkah mantap, angin yang menyapa lembut wajah, dan irama kota yang terdengar lebih pelan dari balik roda kayu, semuanya membawa kesadaran bahwa kebahagiaan seringkali hadir dalam hal sederhana. Andong mengajarkan kita untuk eling lan waspada, mengingat asal kita dan sadar pada setiap detik kehidupan.
Dalam perspektif wellness, andong bukan hanya transportasi, melainkan pengalaman menyeluruh yang menyehatkan jiwa. Duduk di dalamnya membuat tubuh beristirahat, pikiran menjadi tenang, dan hati kembali dekat dengan suasana batin yang damai. Ada keselarasan antara manusia, hewan, dan alam yang tercipta dari gerak seimbang kuda, kendali tangan kusir, serta jalanan yang dilewati. Semua berpadu menjadi harmoni, sebuah pengalaman ngeli nanging ora keli—mengikuti arus zaman tanpa kehilangan jati diri.
Yogyakarta dengan andongnya seperti sedang menuturkan cerita: bahwa kota ini tidak hanya membangun dengan beton dan teknologi, tetapi juga merawat napas budaya. Andong menjadi penanda bahwa kesejahteraan tidak selalu diukur dengan kecepatan dan kemewahan, melainkan dengan kemampuan manusia menikmati setiap perjalanan dengan penuh kesadaran.
Di saat dunia bergerak begitu cepat, andong hadir sebagai ruang jeda. Ruang untuk kembali mendengar suara hati, menikmati kebersamaan, dan merasakan bahwa hidup adalah perjalanan, bukan semata tujuan. Andong adalah filosofi hidup yang berwujud nyata: sederhana, anggun, dan penuh makna.(Tyo)