Wellnessantara.com, Yogyakarta – Borobudur berdiri bukan hanya sebagai monumen, tetapi sebagai aksara batu yang terus berbisik pada generasi kini. Relief-reliefnya adalah narasi tentang kosmologi, spiritualitas, dan identitas Nusantara yang telah melintasi abad. Namun, di tengah derasnya arus globalisasi dan komodifikasi budaya, muncul pertanyaan mendasar: apakah warisan ini sekadar untuk dikagumi, ataukah ia dapat dihidupkan kembali sebagai energi penggerak ekonomi bangsa?

Foto: Istimewa
Ekonomi Kreatif: Data yang Bicara

Sektor ekonomi kreatif kini terbukti menjadi tulang punggung baru. Kontribusinya pada PDB Indonesia mencapai Rp 1.300 triliun pada 2022, setara 7,49% PDB, dan terus meningkat hingga 8,03% pada 2024. Serapan tenaga kerja melonjak dari 14 juta orang pada 2013 menjadi 26,47 juta pada 2024—lonjakan 89% dalam satu dekade. Bahkan, ekspor produk kreatif pada 2023 menembus US$ 23,96 miliar.
Tiga subsektor dominan adalah kuliner (±41%), fashion (±17%), dan kriya (±15%). Sementara subsektor yang tumbuh pesat meliputi film, animasi, seni pertunjukan, dan desain komunikasi visual. Data ini menegaskan satu hal: ekonomi kreatif bukan sekadar pelengkap, melainkan masa depan.

Foto: Istimewa
Borobudur: Laboratorium Peradaban dan Ekonomi
Di hadapan data tersebut, Borobudur memiliki posisi strategis. Ia bukan hanya magnet wisata, melainkan laboratorium peradaban yang bisa mengilhami inovasi ekonomi. Dari kriya berbasis relief, kuliner lokal, pertunjukan seni yang berakar pada filosofi candi, hingga ekowisata naratif—Borobudur adalah lahan subur bagi lahirnya culturepreneur.

Foto: Istimewa
Namun, ada tantangan filosofis yang tak kalah penting: bagaimana memastikan kreativitas tidak mereduksi makna Borobudur menjadi sekadar souvenir tanpa ruh? Bagaimana menjaga keseimbangan antara ekonomi dan makna, antara komodifikasi dan filosofi?
Generasi Muda: Penentu Arah
Edhie Baskoro Yudhoyono, dalam Forum Borobudur Culturepreneur, menegaskan bahwa generasi muda harus menjadi pelaku utama dalam transformasi ini. Mereka memiliki energi, teknologi, dan keberanian untuk mengolah warisan menjadi inovasi. Tetapi, keberanian itu harus disertai kedalaman refleksi: bahwa setiap produk, festival, atau platform digital yang lahir dari Borobudur, adalah representasi dari identitas bangsa.

Foto: Istimewa
Agenda Strategis
1. Festival Kreatif Berbasis Warisan – Menggabungkan tradisi dengan ekspresi kontemporer.
2. Inkubator Budaya & Ekonomi – Kolaborasi universitas, komunitas, dan pelaku industri kreatif.
3. Digitalisasi Borobudur – Platform interaktif yang menghidupkan kisah relief dan narasi lokal.
4. Perlindungan Hak Budaya – Sertifikasi, HKI, dan sistem promosi global yang adil dan etis.
Refleksi Akhir
Borobudur adalah warisan yang tidak hanya meminta kita untuk menjaga, tetapi juga untuk menghidupkan. Ia menuntut generasi kini menjadikannya bukan sekadar monumen diam, melainkan sumber energi ekonomi dan spiritual.

Foto: Istimewa
Maka pertanyaannya bagi generasi muda adalah: beranikah kita menjadi “culturepreneur”—pengusaha budaya yang tidak hanya mengejar angka, tetapi juga menghidupkan makna?
Oleh: Agus Budi Rachmanto
Sekretaris Umum DPD PUTRI DIY dan Wakil Ketua Bidang Objek Daya Tarik Wisata dan Event DPD GIPI DIY