Wellnessanta. Ada saat di mana kata-kata berhenti,pikiran terdiam,dan yang tersisa hanyalah keheningan yang luas.Keheningan itu bukan sekadar sepi…
itulah suwung:
ruang tanpa bentuk, tanpa batas,
namun justru di situlah segala sesuatu berakar.

Dalam suwung, kita belajar melihat diri kita
sebagai cermin dari Sang Sangkan,
asal mula dan tujuan segala hidup.
Cermin yang jernih,
tidak mengikat bayangan yang datang dan pergi,
tetapi tetap bening,
tetap menjadi saksi dari segala pergerakan.
Suwung mengajarkan kita bahwa hidup
bukan sekadar tarikan dan lepasan nafas.
Ia adalah perjalanan pulang,
pulang menuju asal yang sama,
pulang menuju cahaya yang tak pernah padam.
Di sanalah kita memahami,
bahwa sejatinya ada kehidupan dalam kematian,
dan ada kematian dalam kehidupan.
Mati sajroning urip, urip sajroning pati.
Mati dalam hidup: melepaskan ego, nafsu, dan kepalsuan.
Hidup dalam mati: lahirnya cahaya sejati,
yang tak terikat waktu dan raga.
Ketika kita berdiam dalam suwung,
kita merasakan keterhubungan yang dalam.
Bahwa kita tidak pernah terpisah dari dunia.
Bahwa semesta bukanlah sesuatu di luar diri,
melainkan bagian dari denyut batin kita sendiri.
Dari sini kita mengerti,
hidup bukan sekadar menjaga diri,
tetapi juga merawat kehidupan.
Inilah makna hamemayu hayuning bawana:
menjaga keselarasan,
menghiasi dunia dengan kebaikan,
menjadi aliran bening yang menyejukkan,
agar bumi tetap damai,
agar hidup terus berdenyut dalam harmoni.
Dalam suwung, kita menemukan bahwa
asal usul kita adalah cahaya,
dan arah tujuan kita pun adalah cahaya.
Sangkan paraning dumadi:
awal dan akhir yang sama-sama bersemayam dalam Yang Esa.
Suwung bukan kehampaan,
melainkan ruang tempat segalanya berpulang.
Suwung adalah sumber yang tak pernah habis,
memberi, menopang, dan menuntun,
hingga hidup kita menjadi berkah,
bagi diri sendiri,
bagi sesama,
dan bagi jagad raya seluruhnya. Penyaksi Diam dan Cahaya
(Adira)